Minggu, 01 November 2009



REFLEKSI SUMPAH PEMUDA
SEBAGAI produk sebuah kesadaran kolektif, Sumpah Pemuda melintasi
imajinasi zamannya. Ia tercetus 17 tahun sebelum Indonesia merdeka, ketika
jarak waktu masih dijauhkan oleh jarak-ruang, jarak-psikologis, jarakkesadaran,
dan jarak-informasi. Belum ada jet pelintas batas ruang. Belum ada
prosesor pelintas batas informasi berkecepatan giga-hertz. Belum ada semua hal
seperti sekarang yang memungkinkan dilakukan pemendekan jarak-waktu (time
dilation) 5.
Menariknya lagi, ketika itu tidak ada jaminan bahwa apa yang dilakukan
oleh para Pemuda 1928 itu akan memiliki muara sejarah yang jelas, dan juga
mulia. Satu-satunya jaminan adalah keyakinan. Sekarang kita tahu muara dan
arti keyakinan itu, karena kita bebas merdeka dan berdaulat di bumi Nusantara
yang dihuni lebih dari 200 juta lebih manusia Indonesia.
Meski banyak nada pesimistis akan generasi muda masa kini, masih
cukup banyak dari mereka yang mendengarkan gema nyaring Sumpah Pemuda
serta terus berdentang dan mendentangkan imajinasi di lubuk hati yang paling
dalam. Tetapi mengapa gema Sumpah Pemuda mampu terus bertahan? Pertama,
karena berisi gagasan jernih, jujur, cerdas, dan lugas, yang diungkapkan secara
jernih, jujur, cerdas, dan lugas pula. Pemuda 1928 berhasil menangkap ruh
keIndonesiaan, lalu mengekspresikan itu dalam Sumpah Pemuda. Kedua,
gagasan itu melintasi imajinasi zamannya.
REGENERASI ATAU REJUVENASI?
MENJELANG peringatan Sumpah Pemuda ke-79 pada 28 Oktober 2007
lalu, terdengar kembali tuntutan kebangkitan pemuda atau seruan agar kaum
muda mulai mengambil alih kepemimpinan. Tuntutan dan seruan ini tampaknya
relevan, mengingat kegagalan reformasi yang dulu justru digerakkan oleh
pemuda. Cara yang digagas adalah melakukan perubahan atau transformasi
politik sebagai hal yang paling fundamental yang harus dikerjakan generasi
muda. Persoalannya, jika politik tidak berhasil melakukan perubahan, faktor apa
yang salah dari lembaga politik tersebut?
Setidaknya ada enam faktor: masalah konsep atau ideologi, sistem,
lembaga, strategi, program, implementasi program, dan aktor politik. Andaikata
tidak ada persoalan pada kelima faktor terdahulu, maka kegagalan politik terkait
pada aktor politik. Persoalan aktor politik yang bisa muncul adalah tentang visi
dan kemampuan. Visi umumnya bersifat transenden untuk kepentingan
mencapai cita-cita politik jangka panjang. Sedangkan kemampuan merupakan
kesanggupan implementatif, yang selain skill, juga menuntut kemampuan fisik.
Dalam politik yang menekankan pentingnya aktor yang bersifat personal,
maka persoalan kemampuan fisik menjadi hal yang penting. Karena itu, sejauh
mana politik mampu melakukan perubahan sangat tergantung sejauh mana
lembaga politik melakukan regenerasi terhadap aktor-aktornya. Sebaliknya ada
yang berpikir bahwa visi bisa diimplementasikan oleh skill dan kemampuan
sistem yang bersifat impersonal. Dalam hal ini, yang dilaksanakan bukan
regenerasi, melainkan rejuvenasi terhadap visi sang aktor 6.
Pilihan antara regenerasi dan rejuvenasi itu, jelas mengandung
konsekuensi yang berbeda, di mana generasi muda diharapkan dapat memilih
dengan cara yang tepat. Bahwa pilihan untuk melakukan, baik regenerasi
maupun rejuvenasi, sangat terkait dengan keinginan agar politik mampu
melakukan suatu perubahan yang signifikan. Sebab jika keduanya tanpa
menawarkan konsep dan perubahan, berarti hanya merupakan suksesi biologis
atau sekadar power shift.
Hiruk- pikuk tuntutan tentang pentingnya kaum muda diberi peran politik
lebih besar seharusnya tidak hanya menuntut dilakukannya regenerasi, tetapi
juga mengangkat konsep perubahannya juga. Munculnya Mahatma Gandhi
sebagai tokoh politik muda anti kolonialis yang fenomenal di India, karena
menawarkan suatu gerakan perubahan alternatif (swadeshi). Hal yang sama
terjadi saat Mao Ze Dong muncul sebagai tokoh muda partai dengan konsep
long march-nya. Sedangkan perubahan revolusioner digambarkan oleh sepak
terjang Che Guevara dan Fidel Castro muda pada masa lalu.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, menandai posisi strategis kaum muda
dalam perubahan berskala bangsa. Nilai politis Sumpah Pemuda adalah sebagai
instrumen perlawanan atau platform dari sebuah front kesatuan nasional dalam
melawan penjajah. Budi Utomo atau “Jong-Jong” lain yang masih berjuang
secara parsial, melebur dalam jaringan perjuangan front nasional tersebut.
Konsep perubahan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda jelas adalah
kemerdekaan Indonesia yang dianggap masih prematur untuk dikemukakan dan
dikhawatirkan akan mengaborsi perjuangan kemerdekaan.
Pro-youth yang pro-people dalam Sumpah Pemuda, membuktikan bahwa
generasi muda tidak merengek meminta peran politik dari generasi tua. Kaum
muda secara tersirat mengatakan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” dengan
menunjukkan potensi politiknya, antara lain populasi yang besar, sikap murni,
jujur, dan berani, kemampuan fisik dan sebagai generasi penerus terdidik yang
bisa diandalkan. Mereka secara spontan mengisi kekosongan gerakan
kemerdekaan yang tidak dilakukan oleh pejuang tua, yakni perjuangan massal
dan bersenjata.
Melalui cara ini, generasi muda membangun kekuatan tawarnya dan
menyatakan bahwa regenerasi yang disertai rejuvenasi merupakan sebuah
keniscayaan sejarah yang tak terelakkan. Kekuatan tawar yang dibangun
pemuda tahun 1928 membuahkan hasil dengan diberinya peran pemuda pada
BPUPKI/PPPKI (regenerasi) dan peran yang efektif sebagai pressure group
untuk mempercepat proses kemerdekaan (rejuvenasi). Pada saat generasi tua
terlalu lamban mengambil keputusan, eksponen pemuda mendesak segera
diproklamasikan kemerdekaan, seperti terjadi dalam peristiwa Rengasdengklok.
PEMUDA HARUS MENGAMBIL PERAN
TAHUN 2008 mendatang genap 100 tahun momen Kebangkitan
Nasional, sekaligus 80 tahun Sumpah Pemuda. Secara resultantif, tahun 2008
seharusnya menjadi momen penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah
kebangkitan baru. Jika momen 1908 menyemaikan cita-cita kemerdekaan, 1928
mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang tonggak perwujudan citacita
itu, maka pertanyaannya, momen 2008 akan menyemai apa, mempertegas
apa, dan mewujudkan apa?
Sumpah Pemuda 1928 ditandai oleh semangat untuk secara sadar dan
cerdas mencita-citakan satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Menuju
momen 80 tahun Sumpah Pemuda, pertanyaannya, Pemuda 2008 mencitacitakan
apa untuk Indonesia? Tetapi apa pun jawabannya, jawaban itu harus
mampu mendorong sebuah kebangkitan baru, kebangkitan Indonesia abad 21,
kebangkitan sesuai semangat dan karakter zamannya.
Itu adalah peluang kesejarahan yang langka. Peluang untuk
meresultansikan dua kekuatan utama sejarah: pemuda dan kebangkitan.
Sesungguhnya, momen itulah peluang untuk menciptakan sejarah. Ironisnya
yang sering terjadi, mereka berbicara tentang perumusan peran generasi muda
untuk bangsa, tetapi sesungguhnya yang dibicarakan hanyalah bagaimana
mereka mendapat peluang dan menggantungkan diri kepada generasi tua yang
mapan. Akhirnya yang muncul adalah kader karbitan.
Dengan mengikuti alur sejarah “continuity and change”, maka peran
kesejarahan generasi muda sekarang harus melintasi sekaligus tiga zaman,
masalalu, masakini dan masadepan, yakni perpaduan kesadaran historis,
kesadaran realistik, dan kesadaran futuristik, seakan membentuk segitiga utuh.
Sebab, kesadaran historis semata akan melahirkan romantisme. Hanya ada
kesadaran realistik akan melahirkan pragmatisme. Sementara, dengan kesadaran
futuristik, yang lahir adalah generasi muda pemimpi.
Generasi muda menghadapi dua medan sekaligus. Terhadap
lingkungannya, ia dituntut untuk berperan sebagai katalisator bagi percepatan
perubahan. Secara internal masih banyak masalah, baik secara kolektif belum
menyatu dalam satu gerakan pembaharuan, maupun ia belum selesai dengan
dirinya sendiri, yang secara pribadi ia harus “menjadi” seseorang yang punya
prestasi, di mana keduanya untuk meningkatkan daya tawar generasi muda,
sekaligus mengambil peran, dan bukannya meminta peran.